OPINI - Demokrasi harusnya dari rakyat untuk rakyat, tapi sudah berubah dari Bapak ke Anak atau dari Emak ke Anak, kapan perlu ke anak cucu. "Keren bingits, " kira-kira begitu cuitan Generasi Milenial dan Generasi Z.
Generasi Milineal dan Generasi Z menjadi generasi yang hilang atau 'Lost Generation'. Generasi yang hilang kesempatan untuk bersaing mendapatkan peluang memimpin dan dipimpin oleh pemimpin yang layak karena portofolio dan kompetensi, namun dihadapkan pada kenyataan layak karena anggota keluarga dari suatu dinasti.
Baca juga:
Tony Rosyid: Harlah PPP Rasa NU
|
What so called "Democrazy, " persis seperti kaos oblong yang saya beli pada kunjungan ke Jogjakarta Minggu lalu.
Kaos merk lokal Jogja yang sangat terkenal ini dari Boso Walikan kira-kira artinya "Matamu" pas benar mendeskripsikan situasi politik Indonesia saat ini, "Demo Crazy."
Kata Demokrasi diplesetkan dengan "Demo Crazy" dan itu pula yang membuat saya tertarik beli kaosnya.
"Demo Crazy" apabila diartikan secara harafiah menjadi "Pertunjukan Kegilaan" yang bisa dimaknai sebagai "Kegilaan Mempertunjukan Kekuasaan".
Sang Bapak yang semakin gila mendorong anak-anaknya menjadi Indonesia satu atau setidaknya Indonesia dua. Berbagai cara-cara gila mulai dipertunjukan, membuat rakyat melongo dan kelihatan dungu, tidak berdaya dipermain praktek politik kelas "Bajingan." Atau lengkapnya "Bajingan Tolol, " menurut Rocky Gerung. "Sudah bajingan, tolol pula, " begitu kira-kira bahasanya.
Politik para "Bajingan Tolol" ini diorkestra oleh para buzzer bayaran, manusia-manusia pengangguran yang hilang harga diri hanya demi sesuap nasi, rela melakukan fitnah, dan caci maki sesuai orderan para majikan dan politisi mucikari yang mengatakan dirinya paling toleran dan paling NKRI.
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
Diamplikasi oleh lembaga survei abal-abal dan pesanan, mereka melakukan publikasi angka-angka yang seolah-olah begitu faktanya, indeks kepuasan melebihi 80% atas boneka pilihan yang mereka gaungkan sebagai pilihan rakyat.
Kegilaan semakin menjadi-jadi dengan mengubah partai jadi perusahaan keluarga, pengurusnya mulai dari pembina, ketua, sekretaris, bendahara, serta ketua underbow partai pun dari anggota keluarga.
Bapak, Ibu, dan Anak-anaknya, bahkan para menantu bisa dicalonkan sebagai Calon Legislatif secara serentak mewakili provinsi yang berbeda karena merekalah pemilik partainya. Pertanyaan pun muncul, "Sebenarnya Siapa yang Mereka Wakili Apabila Terpilih Sebagai Wakil Rakyat?"
Tak ada yang berani melontarkan kritik terhadap apa yang terjadi, seolah-olah "Kegilaan" ini terjadi di pulau tak berpenghuni.
Suara intelektual menjadi banal, nurani menjadi mati, dihempas ke pulau kedunguan dan tertidur lelap dimainkan angin sepoi-sepoi harapan palsu dengan seteguk asupan haram yang dinamakan jabatan, gratifikasi, dan korupsi.
Jakarta, 16 Oktober 2024
Awal H Akhiran i
Pengamat "Demo Crazy"