JAKARTA - Emisi karbon yang masih menyelimuti langit, harus segera dikurangi sesuai komitmen Perjanjian Paris yang telah diratifikasi Indonesia April 2016 lalu. Emisi karbon yang tak terkendali sangat berdampak pada perubahan iklim dunia. Sumber emisi karbon adalah masih tingginya pemanfaatan energi fosil. Saatnya energi tersebut dikurangi untuk kelestarian lingkungan.
Demikian Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengemukakan persoalan kekinian di bidang energi dan perubahan iklim di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/7/2022), usai bertemu Neil McCulloch (expert subsidy reform) dari Kedutaan Besar Inggris. Pertemuan itu mendiskusikan semangat pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan untuk masa depan dunia. Dan Indonesia sebagai peratifikasi Perjanjian Paris, sangat konsisten menurunkan emisi karbon tersebut.
"Bersama dunia kita ikut menekan agar laju karbon tidak tinggi. Ini harus dikendalikan, karena salah satu sebabnya adalah banyaknya luncuran karbon dari energi fosil, baik minyak, gas, dan batubara. Indonesia hari ini memang masih sangat tergantung pada minyak, gas, dan batubara, " urai Sugeng. Salah satu aksi konkret Indonesia adalah menghapus bensin ron 88 yang sangat tidak ramah lingkungan. Ron 88 sangat polutif, karena tinggi sulfur dan bisa mengganggu kesehatan manusia pula. Sekarang ada ron 90 terendah namanya pertalite Ron 90 itu sudah jauh lebih ramah lingkungan.
Diakui politisi Partai Nasdem itu, transportasi Indonesia masih menggantungkan sebagian besar pada energi fosil. Energi baru dan energi terbarukan masih relatif kecil pemanfatannya. Sementara industri mobil listrik yang ramah lingkungan masih terbatas produksinya. Begitu juga batubara, lanjut Sugeng, menyumbang emisi karbon yang tinggi. Industri listrik di Tanah Air masih memanfaatkan batubara. Itu adalah kenyataan yang masih dihadapi Indonesia. Energi listrik Indonesia dari 65 gigawatt atau 65000 MW itu, 66 persennya PLTU batubara. Di Pulau Jawa lebih parah lagi dengan hampir 70 persen pakai batubara.
"Kita sepakat bumi ini harus dilestarikan, karena sudah terasa ada climate change. Kita harus mencegah agar suhu bumi tidak naik melebihi 1 setengah persen di tahun 2050. Sejak revolusi industri di tahun 1850 sampai tahun 2000 sudah naik 1 poin, 13 derajat celcius untuk mencapai satu setengah tinggal 0, 37, " ungkap Sugeng.
Perubahan iklim itu mulai terasa ketika April-Oktober yang mestinya masuk musim kemarau, tapi masih ada hujan di mana-mana. Ditambahkan Sugeng lagi, negara kepulauan seperti Indonesia sangat terimbas perubahan iklim ini. Ada tekanan udara yang terjadi, sehingga ketidaknormalan ini sangat terasa.
"Nah, itulah kita semua sepakat termasuk Indonesia yang menandatangani Paris Agreement tahun 2016. Ratifikasi itu sudah menjadi UU No.16/2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim, " pungkas legislator dapil Jateng VIII ini. (mh, rnm/aha)